- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bab 2. Penghinaan yang Disengaja
Acara minum teh pagi hari di taman kediaman Marquis Ribelon, tepat ketika Damian baru beberapa waktu resmi menjabat sebagai kepala keluarga dan diberi gelar marquis. Acara itu juga sekaligus agenda untuk mempertemukan Damian dengan gadis yang sudah digadang-gadang akan menjadi marchioness masa depan.
Tetapi sebelum obrolan melaju lebih jauh, Damian langsung membahas pada kepentingannya hari itu.
"Saya ingin membatalkan perjodohan yang dibuat. Saya harap tidak ada yang keberatan."
Taman menjadi hening. Bahkan pelayan yang ada di sekitar mereka dibuat terkejut.
"Bocah ini, apa yang kau bicarakan?" Madam Ribelon, ibunya Damian bingung. Madam Valensia dan Adele diam mengamatinya. Mata Damian dan Adele sesaat bertemu sebelum dia bicara lagi.
"Itulah yang saya bicarakan. Perjodohan harusnya telah berakhir karena kami tidak saling menyukai satu sama lain."
Emosi dalam setiap kata-kata Damian jujur. Dia memang tidak mencintai calon yang dipilihkan ibunya. Perjodohan yang konyol dan kolot itu membuat kebebasannya tercekik. Bola mata karamel Adele yang memancarkan kasih sayang bergetar. Mengenali kesungguhan Damian dengan mudah.
Madam Ribelon kehilangan suaranya untuk sesaat. Adele dan ibunya semula diam. Madam Valensia kelihatan marah. Wajah beliau merah hingga ke telinga dan leher.
"Betapa memalukannya ... semua orang tahu kau akan menikah dengan putriku sejak awal. Lalu mengapa baru sekarang kau menolak perjodohan kalian? Mungkinkah kau meremehkan kami karena aku hanya seorang countess?" tuduh Madam Valensia.
Madam Ribelon pucat dan langsung membantah dengan cemas dan membujuk. "Lariet, putraku tampaknya belum dewasa. Tetapi dia bukan anak yang akan merendahkan orang lain."
Lariet menatap Damian, sementara Adele memperhatikan ibunya serta pria itu bergantian. Dia tersenyum miris dalam diam. Ada yang salah dengan keberadaannya di sini. Di tempat mereka berempat berkumpul. Akankah ayahnya marah jika mendengar cerita dari ibunya?
Adele sudah menyangka Damian akan menolaknya. Tetapi dia tidak bisa menolak Damian demi persahabatan orang tua mereka yang saling bantu membantu. Ketika membicarakan pernikahan mereka, orang tua mereka bahagia. Membicarakan cucu-cucu yang berlarian, meski belum ada juga memperlihatkan gairah hidup. Adele pikir, gairah atau semangat hidup bisa membantu mereka hidup dengan umur panjang.
Dan pria itu hanya memikirkan kebahagiannya seorang. Baiklah pria itu tidak salah. Sejujurnya setiap orang bebas untuk memilih. Jadi, mereka telah dijodohkan sekian lama lalu hati Damian berubah. Bukan tidak mungkin jika hati pria itu berubah kembali, mengingat betapa mudahnya perasaan pria itu jatuh pada gadis lain sementara sudah ada dia yang dijodohkan dengannya.
Madam Ribelon menyenggol siku Damian, berbisik bahwa dia harus minta maaf. Pria itu, yang tampan dan wajahnya tampak selembut kulit bayi tersenyum.
"Maaf Madam Valensia, saya bukannya mau meremehkan Anda. Hanya saja, perjodohan ini bukanlah hal yang saya inginkan. Saya mencintai Lady Deborah dan bertekad menjadikannya istri saya."
Itu bukan lagi meremehkan melainkan menghina. Adele merasa malu ketika nama Lady Deborah disebut dalam pertemuan mereka. Jika itu Deborah maka yang dimaksud Damian pastilah Agnes. Wanita cantik dengan lekukan menonjol dan berparas cantik seperti fantasi para pria. Tapi ... seingatnya Agnes telah bersama seseorang. Jadi, kapankah Damian menjadi kekasih wanita itu?
Selain itu hatinya sesak. Sebab mereka telah dijodohkan begitu pasti, hati Adele pun telah pasti kepada pria itu.
"Deborah? Maksudmu Agnes Deborah? Wanita penjual diri itu?" Ekspresi ibunya Adele seolah sulit untuk mempercayainya. Kemudian ibunya Adele langsung ditegur oleh pria itu.
"Dia adalah wanita yang saya cintai, Anda harus hati-hati saat membicarakan namanya?!"
Pria itu sungguh luar biasa bagi Adele sekarang. Sungguh. Dia sekarang adalah wanita yang dicampakkan. Satu-satunya yang menanggung beban malu di lingkungan masyarakat adalah keluarganya, dirinya, Valensia.
"Kau diam. Bocah Pembuat Onar!" Madam Ribelon menunjuk ke wajah putranya dengan berang. "Perjodohan kalian akan tetap terjadi. Ingat itu. Sekarang pergi jika mau tak berniat memperbaiki situasi!"
Wajah Damian mengeras tetapi dia pergi seperti perkataan sang ibu. Tanpa menoleh atau minta maaf pada Adele. Madam Ribelon berusaha menenangkan ibunya. Di sisi lain mata Adele memerah. Ibunya yang tengah dibujuk oleh Madam Ribelon tersentak lalu menyentuh wajahnya.
"Putriku ... kau pasti tidak baik-baik saja setelah mendengar perkataan anak itu. Ibu akan bicara pada ayahmu. Kau pantas mendapatkan pria yang jauh lebih baik darinya." Awalnya Adele tidak ingin menangis, tetapi karena mendengar kalimat penghiburan, airmatanya mengalir. Ibunya siap sedia mengusap air mata kekecewaannya.
"Lariet ... Adeleku tersayang, aku sendiri tidak percaya mengapa Damian malah menyukai wanita tidak senonoh itu. Adele jauh lebih baik. Bagaimana bisa dia membuang berlian berharga hanya demi seorang wanita murahan," ujar Madam Ribelon.
"Bibi, saya ingin bicara hanya berdua dengan Damian. Saya akan meninggalkan kalian berdua sebentar."
Ibu Damian mengangguk sambil tersenyum dengan kipas terbuka di tangannya. "Lakukanlah apapun yang kau mau. Jika dia bersikap kurang ajar patahkan saja lehernya."
"Baik, Bibi." Setelah berpamitan Adele segera menyusul Damian. Berjalan ke area taman lain di mana sosok Damian pergi.
Hati Adele tidak begitu polos. Dia bukannya sangat tergila-gila kepada satu pria. Hanya saja, dia menghargai hubungan antara dua keluarga. Dia ingin berbaikan dengan Damian, setidaknya mendapat maaf dan perlakuan hormat. Bagaimanapun dialah yang ditinggalkan di sini, tetapi sikap penolakan Damian seolah menunjukkan betapa tak menariknya Lady Valensia, betapa tidak pantasnya dia bersanding dengan Tuan Marquis itu.
Tidak terlalu jauh dari tempat mereka minum teh sebelumnya, kaki Adele dibuat membeku karena suara aneh. Dia mendengar suara sepasang kekasih yang sibuk saling mencurahkan cinta satu sama lain. Hatinya segera diserbu oleh peringatan agar dia tidak mencaritahu lebih jauh apa yang sedang mereka lakukan. Meski terancam hanya akan terluka untuk memenuhi keingintahuannya, merasa cemas. Dengan menahan perasaan itu dia menghadapi kebenaran segera di depan mata. Tepat seperti yang dia cemaskan. pria itu ada di sana.
Mata Adele terbuka lebar-lebar memastikan apa terjadi. Matanya terasa panas. Jantungnya serasa berhenti berdetak untuk sesaat. Tetapi perlahan rasa dingin merambat di jantungnya yang masih berdetak namun seolah membeku.
Adele mengenali sosok Agnes Deborah. wanita itu terkenal dan memang mampu mengobarkan semangat seorang pria normal, termasuk Damian yang memang setelah dilihat-lihat penuh semangat. Ketika Adele telah kehilangan emosinya, pasangan yang bermesraan hingga dunia serasa hanya ada mereka berdua akhirnya menyadari kehadirannya.
Damian melirik sekilas Adele dengan perasaan tidak senang.
"Sayang, sepertinya kita harus ke tempat lain. Kita sama sekali tidak butuh pengganggu." Damian meliriknya tajam lalu menuntun Agnes berjalan ke dalam Mansion.
Bisa Adele lihat bagaimana cara pria itu menatap Agnes. Mengejar kesenangan yang kotor namun memabukkan.
"Mengapa? Aku tidak peduli ada orang bodoh mana pun," sahut Agnes yang jika itu Adele maka dia akan sangat malu. Adele sendiri bahkan merasa jijik. Dia harus segera pergi. Namun dia perlu bertahan. Melihat sebanyak apa Damian ingin memberinya rasa penghinaan.
"Tidak ada masalah yang penting. Agnesku yang menakjubkan. Kau berbeda sekali dengan wanita kolot yang tergila-gila pada perjodohan." Sambil menyeringai. Dia mengusap wajah Agnes kemudian melirik Adele yang pergi meninggalkan mereka.
Dia harusnya merasa puas karena dengan ini wanita itu takkan menginginkan pertunangan tetap terjalin. Tetapi entah mengapa perasaan tidak nyaman terasa lengket dan membuatnya merasa seolah dikotori sesuatu.
Baca selanjutnya Bab 3
Baca sebelumya Bab 2
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar