Damian's Wife Bab 6

Damian's Wife Bab 3


Bab 3: Seorang Pemain

Dia harusnya merasa puas telah membuat gadis yang dijodohkan dengannya kecewa atau bahkan sakit hati. Tapi, gadis itu tidak bereaksi misalkan menangis atau mengamuk. Gadis itu hanya diam dengan kekecewaan, seperti mendiang ayahnya. Ayah yang telah tiada. Yang selalu mentolerir banyak hal kesalahan Damian, dan diam ketika dia melakukan kesalahan, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.

Ibunya pernah bilang bahwa ayahnya adalah pria yang hebat dan baik. Dan senang memendam segalanya dalam diam. Meski begitu ayahnya akan membagikan seluruh kebahagiaan bersama ibunya. Jika menemukan seseorang seperti itu maka jangan lepaskan.

"Jika kau kebetulan menemukan orang seperti itu maka jangan lepaskan. Kau tidak tahu sebesar apa telah melukainya, tapi kau akan melihat sebanyak apa dia akan mencintaimu." Itu kata-kata ibunya di masa lalu, meski Damian telah dijodohkan.

Beberapa saat kemudian, Damian meninggalkan Agnes. Meminta Agnes agar mereka bertemu di luar, bukan di kediaman Ribelon yang sejujurnya suci karena kedua orang tuanya. Dia memberikan cek untuk Agnes hingga wanita itu pergi dengan ringan hati.

Damian menyukai wanita cantik itu. Ada kebanggaan ketika dia bisa memilikinya, seperti kau memiliki permata indah dan mahal. Yah. Dia juga senang merasakan kelembutan wanita sebab dia pria normal. Itu menjadi kebutuhan seiring waktu, dan Agnes adalah sarana untuknya. Tidak lebih dari itu. Kadang dia bersenang-senang dengan wanita lain. Tentu saja Damian memberi mereka uang dan perhatian. Percintaannya bukanlah sesuatu yang terburu-buru seperti menuntun wanita naik ke tempat tidur. Dia murah hati dan lebih bermurah hati. Membuat para wanita itu dengan sombong percaya bahwa dia telah luluh.

"Dia sudah pergi?" Damian mencari tamu resmi yang berkunjung. Lady Valensia.

Meja tempat mereka minum teh telah pergi. Pelayan mengelap meja itu mengkilap.

"Apa Lady Valensia telah pergi?" tanya Damian kepada pelayan wanita itu.

"Benar, Tuan Muda."

Damian menghela napas. Inilah yang dia inginkan. Membuat Lady Valensia marah padanya. Lagipula secantik apa memang Lady tersebut hingga begitu percaya diri menjadi calon marchioness keluarga Damian?

Tidak. Wanita itu cantik dengan cara yang berbeda. Tapi bukan kecantikan yang ingin Damian miliki. Begitu masuk ke dalam rumah, ibunya menunggu di ruang tamu.

Plak! Tamparan keras dan pedas mendarat di lengan Damian.

"Mengapa kau begitu kasar? Apa ibu mengajarimu cara tidak menghargai tamu? Kau tahu siapa mereka yang barusan datang? Count Valensia adalah sahabat dekat ayahmu dan selalu membantu keluarga kita! Begini cara marquis muda membalas kebaikan orang lain? Kau ingin mencoreng muka ayahmu?!"

Damian terkejut menerima tamparan ibunya tetapi dia tidak membantah. Karena jujur dia tahu sudah berbuat salah.

Bugh! Bugh! Bugh!

Dengan marah ibunya memukul lebih keras di bahunya.

"Bagaimana bisa kamu membuat ibu malu? Ibu tidak punya muka untuk menemui mereka lagi. Aku sudah kehilangan kesempatan menjadi berbesan dengan Lariet!"

Ibunya memukul semakin menggila hingga Damian terjatuh. Wajahnya mengaduh kesakitan dan sangat mengesalkan. Meski begitu dia tetap tampan dengan penampilan konyol itu. Para pelayan berusaha memisahkan mereka tapi Madam Ribelon tidak mau melepaskan putranya.

"Dasar bocah gila! Mengapa kau melepaskan seorang gadis baik demi wanita murahan itu, hah?!"

Damian meringis, menutupi bahunya yang sepertinya akan lepas dengan telapak tangan satunya.

"Ibu ... yang Ibu sebut wanita murahan itu calon menantu Ibu."

"Aku tidak sudi punya menantu sepertinya. Mungkin orang lain tidak banyak tahu tapi aku tahu apa yang wanita itu lakukan!" sahut Madam Ribelon geram. "Dan aku tahu bisa membayangkan apa saja yang sudah kau lakukan dengannya. Kau akan jadi bocah ke sekian yang kehabisan uang setelah tidur dengannya, bodoh! Mengapa dia dari sekian gadis-gadis terhormat?"

"Justru karena dia tidak terhormat aku menyukainya Ibu. Karena kesenangan yang akan kudapatkan sudah jelas dan aku sudah melihat umpan balik dari kekasih sebelum-sebelumnya." Damian menyeringai sembari memegangi pipinya yang telah ditampar ibunya.

Mata Madam Ribelon melotot marah seperti melihat setan. "Dasar bocah sinting! Keluar kau dari rumahku! Kau bukan anakku!" Madam Ribelon menjauh darinya seolah jijik. Dia tidak membesarkan anak yang begitu tidak tahu sopan santun. Atau apakah anak ini hanya menganggap wanita sebagai candaan?

"Mengapa Ibu marah? Kumbang tidak seekor bunga tidak setangkai. Pasti banyak wanita baik seperti kriteria Ibu yang mau dengan anak tampan Ibu ini," bujuk Damian merayu ibunya dengan wajah memelas. Andai saja Damian tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Sayangnya dia tak tahu.

"Tidak! Aku tidak punya putra memalukan sepertimu! Penjagaaa usir dia dari rumahku!"

Damian malah cengengesan tanpa dosa ketika diseret keluar dari rumah. Toh dia juga punya rumahnya sendiri. Milik pribadi tidak jauh. Dan dia adalah Marquis dari Ribelon. Ibunya takkan bisa marah berlama-lama. Memang siapa yang punya tanggung jawab atas wilayah mereka? Begini-begini Damian tetaplah tahu kewajibannya.

Sekarang dia harus menemui Agnes dulu. Wanita itu menjanjikan kesenangan dalam kebersamaan mereka. Perasaan Damian bersemangat.

"Siapkan kereta! Aku harus bepergian!" Damian memberi perintah pada penjaga atau pengawal yang barusan menuruti perintah ibunya untuk mengusirnya.

****

Sepanjang perjalanan dari kereta Adele tidak banyak bicara. Pikirannya melayang pada adegan tak pantas yang dia lihat beberapa waktu lalu. Jujur dia kecewa, sakit hati, terhina, dan sebagai pihak yang dirugikan rasanya cukup melelahkan.

Jika dia tidak dijodohkan dengan Damian, tidak menutup kemungkinan sekarang dia sudah punya suami tampan dan anak yang lucu. Akal sehat membuat Adele memikirkan banyak hal. Terutama karena dia seorang wanita. Pastinya sebentar lagi gosip bahwa Damian telah mencampakkannya akan tersebar.

Helaan napas keras terdengar darinya. Dia sering melihat wanita yang dicampakkan sebelum pernikahan, dicampakkan sebelum bertunangan pun sudah sering melihat, tapi mengalaminya sendiri cukup luar biasa.

"Adele, putriku. Maaf, kau harus mengalami penghinaan ini karena kau putri kami."

Telinga Adele tiba-tiba terasa panas. Gara-gara siapa dia mendengar permintaan maaf dari orang tuanya sendiri? Ini salah pria itu. Marquis Damian tak layak jadi menantu ibunya. Baru dalam pertemuan saja sudah begini, membuat ibunya minta maaf pada putri sendiri. Bukankah bagus kalau perjodohan mereka batal?

Dengan begitu dia bisa ikut serta memilih pria macam apa yang boleh dijadikan menantu ayah ibunya. Pria yang berbakti. Tampan tidak perlu, yang penting dia baik dan banyak uang, dalam artian pekerja keras.

"Jangan minta maaf Ibuu. Aku tidak apa-apa. Pasti aku dan Marquis tidak ditakdirkan bersama. Dan daripada Lady Deborah, aku pasti tidak ada apa-apanya, wanita itu begitu cantik Ibuu." Adele tampak tak berdaya dan lemah, persis seperti wanita yang patah hati.

Suasana dalam kereta hening.

Tangan Madam Valensia diam-diam terkepal. Ekspresi madam juga tampak menakutkan. "Marquis itu pasti buta. Putriku tidak kalah dalam hal apapun dari gadis-gadis lain di luar sana."

Adele menutup mulutnya. Tiga hari. Paling tidak selama itu dia harus bertingkah patah hati, meski dia harus segera bangkit dari kekecewaan. 


Baca selanjutnya Bab 4

Baca sebelumnya Bab 2

Komentar