- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bab 5. Perangkap
Damian tidak kehilangan senyum. Sebagai pria, dia selalu menjadi pihak yang menari di atas angin. Apa yang kurang darinya? Dia berkepriadian menarik. Tampan dan kaya. Tanpa menunggu, bokongnya mendarat pada kursi di depan Adele.
"Karena sekarang aku sedang bersama mantan calon istri, kabarku sangat baik."
Senyumnya menawan dan matanya melengkung seolah ikut tersenyum meski punya makna mengejek. Gadis ini jatuh cinta padanya. Bisa Damian rasakan mata gadis itu bergetar ketika menyaksikan kemesraannya dengan wanita lain. Dalam perang perasaan, yang paling mencintailah yang kalah.
"Untuk ukuran wanita yang pertunangannya batal, kau cukup menakjubkan. Berkeliaran di tempat umum dan bahkan terlihat biasa-biasa saja."
Apa maksud pria ini? Satu alis Adele terangkat ke atas, namun dia berusaha untuk tidak terlalu banyak memberi reaksi. Bahkan pria ini tidak berbicara formal.
Dia mengangkat cangkir teh hitam yang memiliki aroma lemon serta madu. Uapnya masih mengepul dan itu menyegarkan. Secara garis besar, Damian tidak menyukainya. Jadi mungkin pria itu ingin mengejeknya.
"Haruskah aku menangis, Tuan Marquis? Aku tidak merasa sesedih itu sampai harus menyumbangkan air mata. Atau justru Anda yang berharap saya akan menangis patah hati?!" Dia menyodorkan kue tar kecil ke depan Damian. Itu milik pria itu dan dia tidak sudi menerima kebaikan kecil yang sia-sia.
"Kau cukup pendendam Lady, kau tahu ..."
"Bicara intinya saja dan pergi!" Adele memotong perkataan Damian. "Anda menjijikkan setiap kali saya melihat."
Namun bibir yang berkata bahwa dia menjijikkan itu tersenyum lembut. Seolah itu bukan penghinaan. Damian memiringkan kepala. Sesuatu menyala dalam dirinya. Gadis ini lembut dan berduri. Dia tertantang untuk menjinakkannya. Akal sehat mengatakan bahwa peluangnya telah hilang.
"Baiklah, Lady Valensia. Mengapa kau meminta tanah di Grigeland sebagai kompensasi? Apa menurutmu itu setara? Bukankah kau terlalu serakah?"
Mata Adele menatapnya lembut dan masih dengan senyum di bibir. Aneh. Semakin lama gadis itu berada dalam pandangan Damian, semakin cantik dia terlihat. Damian menggeram dalam diam. Mengeraskan rahangnya. Dia telah kehilangan salah satu sumber kekayaan keluarga Marquis turun temurun. Grigeland adalah tanah pengasil berlian bernilai tinggi. Dan ibunya dengan senang hati menyerahkan tanah itu pada keluarga Valencia demi menghibur gadis ini?
"Apa maksudmu Tuan? Apakah Grigeland setara dengan Anda? Aku hanya mendapatkan tambang, bukan mendapatkanmu."
Adele pura-pura sedih. Dia meletakkan koin untuk minumannya di meja dan berdiri. Meninggalkan restoran sambil tetap tersenyum. Dalam hati dia bersorak. Tentu saja Grigeland sangat berharga. Keluarganya pantas mendapatkan tanah tersebut demi waktu yang telah habis sia-sia menjalin hubungan atas dasar pertunangannya dengan pria itu.
Langkahnya terhenti di depan kereta. Damian mengejar dan mencengkeram pergelangan tangannya.
"Ayo kita lanjutkan pertunangan kita!" ujar pria itu dengan nada dingin dan bertekat. Damian lalu melanjutkan. "Pertunangan resmi. Pernikahan. Mari kita lakukan semua itu!"
Senyum di wajah Adele luntur. Pria itu memutar tubuhnya dan memegang kedua lengannya. Adele ingin melepaskan diri namun Damian tidak berniat melepasannya.
"Jika kita menikah, Grigeland tetap jadi milikmu dan aku tidak harus kehilangan tambang berlian itu. Kita masing-masing akan punya hak untuk kekayaan tambang. Aku tidak bisa kehilangan usaha yang kubesarkan. Kau harus tahu aku membesarkan Grigeland dengan tanganku sendiri."
Adele mengetahuinya. Itulah sebabnya dia meminta tanah Grigeland. Siapa sangka ibu Damianlah yang menyetujui permintaannya. Hal yang menurut seseorang penting tidak berarti penting pula bagi orang lain.
Pengawal Adele mendekat namun ditahan oleh pengawal Damian. Tidak ada yang akan menyela mereka berdua.
"Jika tujuanmu adalah membalasku, kau berhasil Valensia!" Kata-kata Damian terdengar wajar sebelum kemudian terdengar seperti orang gila. "Jika kau sebegitu ingin menikah denganku maka itulah yang akan terjadi. Valensia. Mari ikut denganku sekarang!"
Dia menarik tangan Adele dan menyeretnya. Tidak bisa dipercaya Damian kehilangan kewarasan.
"Lepaskan! Tolong aku!"
"Siapapun, tolong aku. Pria ini gila!"
Sayang sekali, Damian memasang wajah tersenyum dan dengan ramah berkata. "Maaf membuat kalian terganggu, calon istriku sedang merajuk."
Mereka tiba di sebuah lorong sepi. Tak ada seorang pun di sana. Kedua orang itu masuk lebih dalam. Akan mudah untuk melakukan sesuatu seperti penyiksaan atau pembunuhan. Damian bisa melakukannya, tetapi tidak untuk makhluk indah dan lembut dalam genggamannya.
Di sisi lain, para pengawal saling bertarung. Mereka saling menebas satu sama lain. Semua karena satu orang pria bajingan tertutup image baik.
Dia menyudutkan Adele ke dinding. Adele hanya setinggi bahunya dan memberi Damian perasaan mengintimidasi lawan.
"Pergi kau! Pergi!" Adele berteriak seraya memukul-mukul bahunya. Tetapi pria itu kokoh seperti dinding.
"Aku tidak sudi ... !"
Adele tiba-tiba menutup matanya karena takut. Wajah Damian mendekat sementara tatapannya mengancam dan berbahaya seperti predator. Aura membunuh terasa pekat, mengancamnya. Naluri Adele yang mendeteksi bahaya membuatnya tidak mampu melakukan apapun. Wajahnya pucat menghadapi sesuatu yang ingin pria itu lakukan.
"Diam jika kau tidak ingin aku melakukan sesuatu untuk melukaimu." Sambil menariknya ke dalam pelukannya, tangannya yang besar menekan tubuhnya bersandar padanya. Sementara satu tangan yang lain melonggarkan tali gaun Adele yang begitu gaun itu mulai longgar pria itu menurunkan bagian bahu gaun hingga jatuh. Menampakkan bagian bahu Adele dengan jelas.
"Tolong lepaskan!" Adele yang mengusir ketakutannya sendiri mencoba meminta pada Damian dengan lebih tenang dan sopan.
"Hm." Damian bergumam. "Tidak sekarang. Aku menyukai apa yang kupeluk sama seperti aku menyukai aroma manis yang menyenangkan darimu."
Suara Damian terdengar aneh. Tingkat bahaya yang Adele sekarang telah berkurang, namun rasanya ada bahaya lain yang tersisa. Selain itu dia bisa merasakan bahwa orang-orang bergegas ke lokasi mereka.
"Ketemu!"
Beberapa kesatria datang. Penduduk setempat datang dan menganga melihat posisi mereka. Damian menyeringai. Melepas pelukannya lalu menarik Adele yang gemetar bersembunyi di belakangnya, tanpa bisa keluar. Melepaskan jasnya lalu memakaiannya pada wanita itu.
Kepala Adele tertunduk ketika orang-orang melihat dan mengenalnya. Matanya berkaca-kaca karena memanas. Dia merasa malu.
"Apa yang pasangan itu lakukan di siang bolong? Bukankah itu Lady Valensia?"
"Jangan sembarangan bicara! Kau pikir siapa yang kau bicarakan?"
Orang-orang berdebat, tetapi Adele telah tertangkap basah. Dia menggigit bibirnya. "Jadi kau ingin mencemarkan nama baikku sekarang?" Bergumam dalam hati.
Damian hanya tenang. Dia tidak mau melakukan itu. Tangannya bergerak secepat instingnya. Dengan begini tidak ada yang tak tahu bahwa mereka pasangan, dan mau tak mau mereka akan menikah. Atau sulit bagi Adele hidup di dunia sosial di masa depan.
Damian menoleh pada orang-orang. Menunjukkan wajahnya. Tersenyum lebih lebar dan pura-pura bersalah. "Maaf. Kami bertengkar dan bermesraan dalam sekejap. Itulah yang biasa pasangan lakukan."
Tangannya melingkar, mendekap Adele yang kaku seperti patung dalam pelukan. Setetes air mata kemarahan mengalir.
"Kau milikku, semua orang tahu." Pria itu berbisik di telinganya.
Tangan Adele mengepal. Napasnya kasar. Untuk beberapa saat dia mengumpulkan pikirannya. Jika nama baiknya rusak, lalu apa?
Adele mengintip dari balik bahu Damian. Tangannya menyentuh bahunya yang lebar.
"Seperti yang Tuan Marquis katakan, dia benar. Jangan khawatir, kami akan segera pergi."
Entah bagaimana Adele sanggup membuat suaranya tidak bergetar. Dia menelan ludah. "Silakan pergi."
Baca selanjutnya Bab 6
Baca sebelumnya Bab 4
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar